Senin, 30 September 2013

Petani, Pohon dan Benih.

Aku akan menceritakan sebuah kisah. Kisah antara sebatang pohon, seorang petani, dan sebuah benih.

Ada seorang petani yang memiliki sebatang pohon yang tumbuh di pekarangan rumahnya. Pohon itu dirawatnya sekian lama hingga menghasilkan buah yang banyak. Petani itu sangat menyayangi pohon tersebut. Merawatnya dengan setulus hati, sepenuh hatinya, menghabiskan banyak waktu untuk duduk dibawah sandaran pohon tersebut, bercerita kepada pohon tersebut tentang banyak hal, berteduh dibawah rimbunan daun pohon tersebut. Hidup petani itu sangat bahagia. 
Begitu pula dengan sang pohon. Pohon itu juga begitu senang memiliki seorang yang merawatnya seperti sang petani. Pohon itu berusaha memberikan buah terbaiknya untuk menyenangkan hati petani tersebut, menyediakan batangnya untuk sandaran petani itu, menyuburkan daunnya sebagai tempat berteduh sang petani. Hidup pohon itu juga sangat bahagia.

Hingga suatu hari, ketika pohon tersebut tiba-tiba tidak menghasilkan buah lagi, daunnya semakin berguguran. Ntah apa yang terjadi, bahkan pohon dan petani tersebut tidak mengerti, mengapa sang pohon tidak berbuah lagi, tidak dapat menjadi tempat berteduh lagi? Tak ada yang bisa menjawabnya. Disinilah masalah muncul. Petani mulai merasa pohon itu tidak bisa memberikan lagi buah untuknya, tidak bisa lagi memberikan keteduhan untuknya, tidak bisa memberikan kenyamanan yang dibutuhkan petani itu lagi. 
Petani mulai tidak memperhatikan lagi pohon tercintanya. 

Apa yang terjadi pada pohon? Tentu saja pohon itu sangat bersedih. Bagaimana tidak? Kebahagiaan bersama sang petaninya lewat sudah. Pohon itu bahkan tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Sang pohon hanya bisa menatap petani dari kejauhan. Petani bahkan tidak singgah lagi di bawah batangnya hanya untuk melihat pohon itu. Petani hanya duduk diam dirumahnya sambil memandangi daun pohon yang terus berguguran.

Suatu ketika disinilah kesedihan pohon semakin menjadi-jadi. Petani membeli sebuah benih yang baru. Terlihat wajah bercahaya petani ketika membawa pulang sang benih tersebut. Petani mencoba menanam benih tepat bersebrangan dengan sang pohon. Apa yang diharapkan petani dari benih kecil yang dibawanya? Ntah lah, mengharap benih bisa tumbuh seperti pohon hingga bisa memberikan kebahagiaan yang baru bagi petani? Tak ada juga yang tau. Baik sang benih, sang petani dan sang pohon.

Sang benih kecil yang bahkan tidak mengerti mengapa petani membawanya ke rumah. Tak ada penjelasan dari petani. Petani hanya terus berusaha merawat benih kecil itu dengan semangat. Benih yang awalnya tidak berniat untuk tumbuh karena merasa asing dengan petani, maka ketika kasih sayang, kelembutan diberikan secara terus menerus, benih itu tidak bisa menahan dirinya untuk tumbuh. Ya, benih itu tumbuh. Dan benih itu juga tidak memungkiri ada rasa bahagia yang didapatnya dari petani. Benih sama sekali tidak tahu apapun terkait sang pohon diseberang sana yang menatap sedih melihat petani hanya merawat benih tersebut. Jika saja benih tau, maka sungguh benih menyesal membiarkan dirinya tumbuh dengan kasih sayang dari sang petani.

"Musim hujan akan datang, aku tidak akan bisa sering mengunjungimu, merawatmu lagi" itu yang dikatakan petani sebelum akhirnya petani pergi meninggalkan benih suatu ketika.
Hingga benih tau semuanya, bukan karena akan hujan petani itu pergi. Dari kejauhan benih melihat petani menatap ke pohon, pohon yang semakin layu. Terlihat kerinduan di mata sang petani terhadap pohon. Disitulah benih menyadari apa yang terjadi. Yang terjadi adalah bahwa petani bukan miliknya. Petani milik pohon tersebut. Kesalahan terbesar benih adalah membiarkan dirinya tumbuh. Kesalahan benih adalah membuat pohon tersebut semakin menderita. Kesalahan terbesar benih adalah membuat perhatian petani teralihkan disaat pohon begitu membutuhkan petani. Itu yang sangat disesali benih.

Benih berharap dari kejauhan, petani itu mendatangi lagi pohon itu. Memberi pohon itu semangat untuk melanjutkan hidup lagi, membangun lagi kebahagiaan itu lagi. Itu harapan benih.
Akhirnya, harapan benih terkabul. Petani kembali lagi mengunjungi pohon. Pohon kembali lagi berusaha hidup. Kembali berusaha menumbuhkan daun-daunnya yang berguguran. Berusaha menghasilkan buah-buah yang lama tidak muncul. Satu hal yang petani dan pohon tidak tahu. Mereka hanya sedang mengalami musim gugur. Pohon itu sedang melewati musim gugur sebelum kembali bersemi.

Dari kejauhan, benih ingin sekali meminta maaf kepada sang pohon karena sempat mengusik kebahagiaannya dengan mengambil alih perhatian sang petani meski hanya sesaat. Namun apalah daya benih yang kecil itu tidak bisa menghampiri pohon, dia tertambat beberapa ratus meter dari pohon itu. Tertambat di tanah. Hanya bisa melihat dari kejauhan. Benih sungguh ingin meminta maaf.
Benih berdoa semoga pohon dan petani itu bisa melewati segala musim bersama, tidak peduli itu menyedihkan sekalipun. Semoga pohon dan petani itu bahagia, selalu.

Benih? Apa yang terjadi dengan benih? Benih tetap tumbuh dengan sendirinya.
Benih hanya berharap bisa menjadi teman pohon itu, berharap bisa belajar banyak dari pohon bagaimana tumbuh menjadi pohon yang bisa memberikan kebahagiaan bagi sekitarnya. Benih berharap akan ada petani lainnya yang bisa merawatnya dengan kasih sebagaimana petani si pohon itu. :))

Kamis, 19 September 2013

Kenangan 4

Sempat terhenti menceritakan kisah ku karena sebenarnya menuliskannya penuh emosi :D
Tapi, aku ingin membagikan cerita ini untuk menjadi pelajaran buat teman-teman semua, bukan untuk dikasihani atau apapun. Semoga bermanfaat. :)

26 Desember 2004
Hari itu minggu. Hari dimana seluruh siswa bekerja sama gotong royong membersihkan segala sudut asrama, sekolah. Begitu pun aku dan beberapa temanku yang kebagian jatah membersihkan halaman depan asrama. Saat sedang mencabut rumput, temanku tiba-tiba berkata "Dara, koq aku pusing ya, kaya gempa". Aku yang belum merasakan getaran bumi tersebut hanya berkata "Perasaan kamu aja kali". Namun, tidak lama setelah berkata begitu aku juga merasakan gempa yang mengguncang bumi Aceh pagi itu.
Lantas semua orang tiba-tiba berseru panik dan lafadz tahlil kemudian terdengar dimana-mana. Aku yang baru pertama kali merasakan gempa sedahsyat itu langsung menangis. Aku takut melihat pepohonan yang nyaris seperti hendak tumbang. Aku takut meilhat tanah tempatku berpijak mulai terlihat retakan. Aku takut hari itu merupakan kiamat.
Diantara isakan tangis teman-teman, kalimat-kalimat tasbih, aku berdoa dalam hati "Ya Allah, lindungi keluarga ku, kalaupun hari ini memang kiamat, sempatkan ayah dan mamaku menyebut namaMu" hanya itu doaku, doa yang terus ku ulang-ulang hingga aku merasakan guncangan telah berhenti.
Aku merasa lega, bersyukur karena setelah kami menunggu beberapa saat semuanya tenang tidak terjadi apa-apa. Kami melanjutkan kembali aktivitas kami.
Lima belas menit kemudian, ternyata inilah puncak segala kuasa Allah ditunjukkan.
Orang-orang tiba-tiba ramai berlarian sambil berteriak "Air laut naik, air laut naik!! Lari dek, lari"..
Kami yang belum mengerti apa-apa panik berlarian memanggil para ustadzah.
Saat itu keadaan benar-benar kacau, siswa-siswi berlarian ke luar dari sekolah ikut berlarian bersama warga. Kami terpencar. Aku bersama teman sekaligus saudara ku ikut berlarian menuju daerah Beurawe. Kami melintasi jembatan yang dibawahnya mengalir sungai. Aku kaget melihat sungai tersebut telah penuh dengan segala barang, mobil, kayu, peralatan rumah tangga, dan macam-macamnya.
"Ya Allah" hanya itu yang bisa aku gumamkan. Aku hanya bisa membayangkan apa yang terjadi, tanpa mengetahui dengan pasti.
Kami berlari selama 2 jam menuju Aceh Besar, tanpa merasa lelah sedikitpun karena kepanikan dan ketakutan yang kami rasakan.
Tiba disebuah mesjid, kami berhenti karena melihat beberapa siswa sekolah kami. Posko-posko mulai dibangun untuk sementara.
Aku duduk disalah satu sudut mesjid. Aku menangis. Aku takut membayangkan yang terjadi dengan kedua orang tuaku dan adikku. Rumah ku tidak jauh dari pantai.
***
Gempa susulan itu masih terasa berpuluh-puluh kali sejak gempa dahsyat yang pertama kali. Kabar dari kota Banda Aceh yang diberi tau salah seorang penduduk daerah setempat bahwa kejadian tersebut memakan ribuan korban jiwa.
Mendengar kabar ini tangisku kembali tumpah, apa yang terjadi dengan orang tua ku?Adikku? Saluran telpon bahkan tidak bisa digunakan lagi.
Kami hanya bisa menunggu. Menunggu keadaan kembali normal.
***
"Sabar sayang, mama sama ayah Dara pasti lagi bersih-bersih rumah abis kebanjiran" Begitu kata salah seorang ustadzahku yang berusaha menenangkanku setelah seharian aku menangis tanpa henti. Masih belum ada kabar apapun dari keluarga ku, juga keluarga teman-temanku.
Setelah hampir satu hari kami mengungsi di mesjid, kepala sekolah ku datang. Beliau mengajak sekitar 30 murid yang baru kelas 1 SMP untuk ikut kerumahnya. Termasuk aku dan saudaraku, Nisa.
Rumah beliau bebas dari kejadian itu. Kami tidur berdesak-desakan, dalam keadaan gelap, karena listrik padam, disertai hujan dan masih gempa susulan.
Satu persatu teman-temanku dijemput. Hal itu membuat aku tambah bersedih. Mana mama? ayah? kenapa tidak menjemputku?
Hingga hari ketiga aku menunggu mereka belum datang. 
***
Hari keempat, Nisa dijemput oleh saudara dari pihak ibunya. Nisa memintaku ikut dengannya, dikarenakan memang rumah kami dekat. Aku masih ragu, karena takut ketika orang tuaku menjemput, mereka tidak menemukan ku. Namun, Nisa memaksa dan mengatakan nanti aku diantar ke rumah. Aku menurut karena aku tidak ingin tinggal lagi di rumah kepala sekolah ku seorang diri. Semua teman-teman telah dijemput keluarganya.
Setiba di rumah saudara Nisa, aku melihat ayah Nisa dan adik laki-lakinya yang di rawat dengan beberapa luka disekujur tubuh.
Aku bertanya pada ayah Nisa, mana mama nisa dan adik perempuannya. Ayah nisa hanya menangis.
Aku langsung merasakan sesuatu yang aneh. Aku bahkan tidak mengharapkan jawaban dari ayah Nisa lagi. Aku tau.
"Kak Dara, Am malam minggu sebelum kejadian nginap di rumah Kak Dara" ujar adik laki-laki Nisa yang memang sering bermain bersama adikku.
Aku langsung terlonjak, lantas memburu Am dengan banyak pertanyaan. "Terus Am berarti waktu kejadian ada sama mama, ayah ka Dara? Zaky gimana? Mereka mana? Kenapa ga datang?" Sambil menahan gejolak emosi aku bertanya.
"Am ga tau kak, sebelum gempa Am udah pulang, sampai di tengah jalan baru kerasa gempa, dan ga lama Am lihat ombak gede, Am ga tau apa-apa lagi", jawaban Am membuat hati ku semakin gelisah akan nasib kedua orang tuaku.
Allah, aku masih mengingat jelas saat-saat itu, hingga saat aku menuliskan ini.
***
Beberapa hari setelahnya, aku dijemput oleh kakak sepupu terdekat ku, Kak Inyak. Kak Inyak membawa ku ke Peureulak, tempat nenek. Tanpa ada yang menjelaskan nasib orang tuaku, aku sudah bisa menebak. Aku bahkan tidak bisa menangis lagi selama beberapa saat. Aku tidak merasakan apapun Hanya hampa. Bagaimana mungkin aku tidak bisa melihat orang-orang terkasihku lagi? Aku nyaris gila. Saat umurku masih 12 tahun, aku sudah kehilangan segalanya. Semua orang terkasihku. Aku sebatang kara.
***
Kejadian itu 9 tahun yang lalu. Banyak hal yang telah terlewati. Banyak perjalanan hidup yang aku tempuh sendiri. Sekarang aku bukan anak 12 tahun yang hampi gila itu. Aku sekarang menjadi seorang wanita yang kuat. Aku banyak mengambil pelajaran dari kehidupan ku. Bahwa segala yang telah ditakdirkan Allah untuk ku semuanya pasti memiliki hikmah. Aku sekarang ikhlas dengan segala garis kehidupan yang telah diatur Allah. Aku berharap, semoga dengan kisah ini, semua orang bisa dengan lapang hati menghadapi permasalahan hidupnya. Bukan hanya kita yang punya masalah, orang lain mungkin punya masalah yang lebih besar dari kita, namun mereka mampu melewatinya.
Seperti kata ayah "Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak?"

End.
Bogor, 20 September 2013.

Selasa, 17 September 2013

Untuk Ayah

Air mata itu terus mengalir deras. Dibawah tatapan ayah yang dengan sabar mengajariku matematika. Saat itu aku duduk di kelas 3 SD, dan aku sangat payah dalam hal pelajaran matematika. "Ayo coba lagi, ini ayah kasih 10 soal coba dikerjakan" Ujar ayahku menyerahkan buku tulis yang berisi soal-soal yang bagiku benar-benar menyusahkan. Aku dipaksa belajar oleh ayah selama hampir 3 jam di dalam kamar yang terkunci tanpa boleh keluar sebelum mengerti pelajaran ini. Aku yang kesal, jenuh, akhirnya tak kuasa menahan tangis. Bukan karena marah dikunci di kamar, tapi aku menyesali kenapa aku begitu sulit mengerti pelajaran ini. Ayah yang seolah tidak melihat bulir air mataku, dengan santai terus sabar mengajariku. Hingga sejam kemudian aku bisa tersenyum dan dengan mantap mengerjakan soal-soal lebih sulit yang diberikan ayah berikutnya. Akhirnya aku mengerti. Dan terlihat kebanggan di mata ayah.
***
Pagi itu, seperti biasa adalah tugas ayah yang membangunkan aku dan adikku untuk bersiap-siap berangkat sekolah. "Hei anak ayah yang pemalas, ayoo bangun, sekolah" ayah menciumi kami dan jahil menggelitik kaki kami. Aku menggeliat dan sengaja tidur lagi, mengisengi ayah agar lebih lama membangunkan kami. "Adek ga mau bangun kalo ga digendong" seru adik ku yang masih bertahan di tempat tidur. Ayah juga seperti biasa langsung menggendong adikku dan membawanya ke kamar mandi agar adikku segera mandi. "Kakak juga mau digendong" ujarku merengut karena cemburu melihat ayah menggendong adikku. "Kalo kakak yang digendong, ga lama lagi ayah bungkuk", dengan tertawa ayah menjawabku. 
***
"Ayah, nanti kalo uda gede, kakak mau kuliah ke Amerika" saat itu aku sedang membolak balik halaman sebuah majalah yang memuat tentang negeri Paman Sam tersebut. "Adek juga yah, adek mau kuliah ke luar negeri", adikku tidak mau kalah menyambung. "Adik mau ke luar negeri mau kemana?" Ayah bertanya dengan antusias. "Adek mau ke India" jawabnya dengan polos. Ayah hanya tertawa mendengar jawaban itu, "Kalo kalian rajin belajar, kemanapun kalian mau pasti bisa" ayah mengingatkan kami. Itulah ayah, selalu memotivasi kami.
***
"Ayah, kakak kangen" saat ayah menelepon untuk mengabarkan bahwa ayah telah sampai di Jakarta karena selama 2 bulan akan menyelesaikan beberapa tugas kantor. "Adek juga, nanti ayah pulang bawa oleh-oleh ya" Adikku malah langsung menodong oleh-oleh bahkan disaat baru hari pertama keberangkatan ayah. "Tapi ayah koq ga kangen ya" ayah dengan jail menjawab kami sambil tertawa. Aku yang mendengarnya langsung sedih, meskipun tau perkataan ayah hanya bercanda. Kami jarang terpisah lama. Ayah selalu ada buat kami.
***
Aku terus menunduk. Ayah hanya diam tanpa berkata apa-apa dan terus menatapku saat aku tidak menjawab pertanyaannya "Kenapa kakak mau main ga bilang?". Aku bahkan tidak berani sekalipun mengangkat kepala untuk menatap ayah dan menjawabnya. Itu kali pertama aku melihat ayah marah. Ayah marah karena aku pulang sekolah tidak langsung pulang dan bermain dirumah temanku hingga hampir maghrib. Ketika pulang mama langsung memarahiku dengan omelan-omelan panjang dan nyaris mencubitku, tapi dilarang oleh ayah. "Ga boleh mendidik anak dengan pukulan" begitu komentar ayah pada mama. Namun, tatapan ayah lebih menyeramkan dari pukulan itu sendiri. Aku berjanji sejak saat itu tidak membuat ayah marah lagi.
***
Ahh, sangat banyak kenangan-kenangan yang terlintas di kepala ku tentang ayah. 
Ayah yang sangat mencintai keluarganya, bahkan sesibuk apapun ayah tetap menyempatkan waktu buat kami, secapek apapun ayah tetap sabar mendengar ocehan-ocehan kami.
Ayah yang bukan tipe pendidik dengan kekerasan, namun tegas. Bahkan tak sekalipun ayah pernah memukul kami, hanya dengan tatapan membuat kami segan melakukan kesalahan hingga membuatnya marah.
Ayah mendidik kami menjadi anak yang mandiri, tidak manja.
Ayah yang tidak segan mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus kami anak-anaknya ditengah segala kesibukannya.
Ayah yang selalu menyediakan hari liburnya untuk mengajak kami jalan-jalan, mengenal lingkungan dan alam.
Ayah.. Dia ayah kami, ayah terhebat yang pernah ada.
Meskipun hanya 12 tahun aku merasakan hidup bersama ayah bahkan tidak mengurangi rasa cinta dan hormatku pada ayah. Aku menyayanginya. Sangat menyayangi ayah.


Hari ini tepat dimana hari kelahiran ayah, 17 September.
Aku hanya bisa mengirimkan doa untuk ayah,
Semoga ayah disana tenang, ditempatkan di sisi-Nya.
Untuk ayah, semoga kelak kita bisa berkumpul lagi, bersama, selamanya.

Bogor, 17 September 2013
*Putri mu, Ayah :')

Minggu, 01 September 2013

Pecinta Cermin

Kalau mendengar kata cermin, bukankah identik dengan wanita?? Ya, wanita sangat mencintai cermin, dimana ada cermin disitu ada wanita. Begitulah istilahnya.
Contohnya saja aku memiliki seorang teman yang sangat tergila-gila dengan cermin, sehingga jika kamu membutuhkan dia cukup acungkan saja cermin, dan dengan sendirinya dia akan mendekat. Itu berlebihan sebenarnya, tapi memang begitu adanya.
Temanku yang lain tidak jauh berbeda, kemanapun pergi dengannya, jika ada benda yang dapat memantulkan bayangan, maka dia akan berhenti sejenak. Aku pernah hampir terlambat mengikuti sebuah seminar di kampusku saat pergi dengannya. Setiap ada kaca jendela, kaca pintu, maka setiap itu dia akan berhenti.

Berbeda denganku, aku membenci cermin. Tidak. Tidak sepenuhnya membenci cermin, hanya saja aku tidak menyukai cermin.
Mengapa bisa begitu? Aku sebelumnya akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu.

Namaku Salsabila Karisya. Bagus bukan? Ya, semua orang yang mendengar namaku pasti membayangkan akan melihat sosok seorang gadis yang anggun, jelita, lemah lembut dan bersahaja. Simpan saja bayangan itu. Lanjut perkenalan tentangku. Aku seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri yang berbeda dari kota kelahiranku. Saat ini aku telah menyelesaikan 6 semester di kampusku itu. Aku menyukai mesin, sehingga aku mengambil jurusan teknik mesin. Bisa kalian bayangkan orang yang mempunyai nama indah tersebut bekerja dengan berbagai macam mesin? Kali ini mungkin bayangan tentang keanggunan, kelemahembutan ku semakin berkurang. Tetap simpan saja bayangan itu. Aku anak terkahir dari tiga bersaudara. Saudara-saudaraku semuanya lelaki, kakakku yang pertama sudah menikah dan tinggal jauh dari orang tuaku, kakakku yang kedua bekerja di sebuah perusahaan di kota kelahiranku. Bisa bayangkan? Aku hidup diantara dua saudara lelakiku? Silahkan tambah saja bayangan kalian tentang diriku.
Karena aku kuliah di kota yang berbeda dari kedua orang tuaku, maka aku menyewa sebuah kamar di sekitaran kampusku. Kamar inilah menjadi tempat favoritku. Aku termasuk orang yang susah bergaul dengan orang, sehingga aku lebih menyukai kesendirianku, menghabiskan berjam-jam untuk membaca novel kesukaanku, menonton film-film favoriku, daripada harus berkumpul dengan orang-orang sekitarku. Mungkin cukup perkenalan yang jika dilanjutkan tidak ada juga hal-hal menarik yang bisa aku ceritakan.

Kembali ke cermin. Aku tidak mengerti kenapa wanita begitu menggilai cermin. Entah aku yang aneh, atau mereka yang menurutku aneh. Tergantung sudut pandang masing-masing.

Tidak semua cermin aku hindari, aku hanya menghindari cermin yang dengan jelas memantulkan bayangan wajahku, tapi sesekali aku bercermin pada kaca-kaca yang dapat memantulkan dengan samar bayangan diriku.
Seperti, ketika sedang berjalan aku melewati sebuah mobil yang memiliki kaca berwarna hitam, aku berhenti sejenak melihat tampilan diriku. Saat aku melintasi etalase-etalase toko aku sejenak bercermin. Hanya itu. Bahkan aku hanya mempunyai sebuah cermin kecil di kamar kosanku dan itupun aku pakai ketika saat-saat yang benar dibutuhkan. Selebihnya cermin itu akan tersimpan rapi di laci meja belajarku.


Mungkin alasanku membenci cermin cukup bisa diterima sebagai alasan yang paling klise. Aku tidak memiliki wajah yang cantik, wajahku sangat dibawah standar, begitu lah kataku. Hidung ku pesek, kulitku hitam, aku mempunyai bibir yang asimetris menurutku, kulit wajahku penuh dengan bintilan-bintilan yang disebut jerawat, dan jika aku sebutkan kekurangan-kekurangan lainnya maka kalian bisa membayangkan seorang alien. Yaa, itu alasan yang selama ini aku simpan rapat-rapat di dalam hatiku yang paling dalam. Cukup hanya aku yang tau. Bisa dibilang aku tidak bersyukur dengan semua yang aku miliki.

Suatu ketika, aku menjalani KKN di sebuah daerah terpencil di kota aku menempuh pendidikan tinggiku. Disana aku bertemu seorang gadis kecil, yang aku tidak sanggup melukiskan dengan kata-kata kondisinya. Dia cacat fisik, bahkan jika aku menggambarkan diriku alien, dia merupakan alien teraneh yang pernah aku liat. Namun, satu hal yang tidak aku lihat dari dirinya jika dibandingkan dengan diriku, dia tidak mengeluh dengan kondisinya. Dia begitu bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Aku membayangkan jika menjadi dirinya, aku akan meringkuk di rumah dan tidak ingin bertemu satu orang pun. Tapi tidak begitu dengan gadis kecil ini, dia begitu periang, memiliki banyak teman, senang membantu orang, dan cacat fisiknya sama sekali bukan masalah untuk dipandang, dia bahkan terlihat sangat cantik dengan kondisinya yang seperti itu.

Aku begitu merasa malu dengan diriku, aku yang sudah kuliah semester 6 menjelang 7 bahkan tidak bisa berbesar hati seperti gadis kecil berusia 10 tahun itu. Aku yang bahkan sebenarnya memiliki fisik yang tidak jelek, masih dalam kategori standar, masih belum bisa bersyukur.
Sungguh mulai saat itu aku tidak lagi membenci cermin. Tidak lagi menghindari cermin.
Aku menjadi pecinta cermin, bukan untuk merias diri seperti wanita lain. Namun untuk bersyukur atas apa yang diberikan Allah atas diriku.
Setiap melihat cermin, aku melihat begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan dalam kehidupanku. Setiap melihat cermin aku melihat bahwa masih banyak orang-orang lain yang kurang dari ku, namun mereka bisa bersyukur. Maka kenapa aku tidak??

Bogor, 1 September 2013
*Inspirasi dadakan :))